“Pikiran lu rumit,” tanya ku pada sahabat saat kami ngobrol santai tapi agak serius di rumah kosan miliknya, yang ia anggap dalam sebuah candaannya sebagai Yayasan tempat berkumpulnya kaum dhuafa.
Hampir setiap hari, kamar kos berukuran 3X4 meter persegi yang ditempati sahabat saya itu memang selalu ramai oleh teman-temannya, termasuk saya.
Dilingkungan komunitas, dia akrab disapa mang. Itu wajar, karena dia adalah satu-satunya orang yang dituakan dalam lingkungan komunitas.
Sebenarnya saya sudah mengenal dia lumayan lama. Tepatnya ketika dia bergabung di sebuah organisasi jurnalis. Namun hanya sebatas kenal saja. Tak begitu dekat atau bahkan akrab berkomunikasi.
Terlebih seingat saya, dia merupakan anggota baru di organisasi, sehingga saya hanya bertegur sapa sewajarnya saja. Menurut cerita dia, ketika saya berada di kantor sekretariat organisasi jurnalis, saya sering ditawari olehnya untuk dibuatkan kopi.
Hal itu memang benar, namun saya belum sadar, dengan sahabat saya itu. Sehingga saya hanya bisa menyapa basa-basi saja. “Itu anggota baru yah?,” tanya saya ke Ketua organisasi. Iya, jawab ketua organisasi.
“Mau dibikinin kopi Bang?. Boleh jawab saya. Setelah membuatkan kopi, selama saya berada di kantor sekretariat, saya tak banyak ngobrol dengannya. Sehingga waktu berlalu begitu saja.
Lama tak bertemu, selang beberapa waktu kemudian. Kami bertemu di sebuah tempat berkumpul favorit para jurnalis di sebuah taman kota. Di sana kami mulai membuka obrolan, awalnya obrolan hanya sekedar basa-basi.
“Berita yang lu tulis bagus juga tuh,’. tanya saya. Berita yang mana ya bang? jawab dia. “Itu soal isu LHKPN para pejabat, di spill ampe abis, keren peka sampe situ. Baru lu yang naikin isu itu,” kata saya.
Berawal dari obrolan yang basa-basi itulah, kami pun sering ngobrol dan berdiskusi. Baik seputar topik tentang masalah jurnalistik hingga topik absurd lainnya. Obrolan kami makin seperti sefrekwensi, topik diskusi apapun yang dipantik selalu serasa seperti daging rendang.
Hingga pada satu ketika, kami ngopi santai di kosannya. Sudah seperti ritual ngopi sambil diskusi. Topi diskusi kali itu cukup serius kalau boleh saya bilang. Sayangnya saya lupa topik apa yang saat itu yang kami bahas lebih tepatnya.
Namun sedikit yang saya ingat, yaitu soal pandangannya tentang sesuatu hal yang menurut saya sulit untuk dijawab. “Pikiran lu terlalu rumit,”. Dalam pikir saya saat itu, pandanganya bisa saja saya jawab, namun jawaban saya itu nanti malah akan jadi cabang lain dipikirannya. Sehingga perdebatan tidak akan pernah selesai.
Itulah menariknya sahabat saya. Menurut saya, ruang pikirannya tak seperti kamar kosan. Begitu ruang pikiran yang satu habis, dia akan membuat ruang lainnya. Pikirannya begitu luas, berdiskusi dengannya bisa membuka cakrawala pikiran yang baru.
Dalam sebuah candaan, terkadang kami saling berseloroh satu sama lain. Apa jangan-jangan kita ini gila?. Tapi jangan sampe gila beneran, ha ha ha. Diskusi pun ditutup dengan dering suara telpon.
Diskusi memang sudah menjadi ritual kami. Dalam kesempatan lain kami membahas soal relevansi sebab dan akibat dalam kehidupan.
Dalam ritual diskusi, saya bertanya kepada sahabat, yang sudah saya anggap sebagai kaka angkat saya sendiri “ketika kita menanam kebaikan apa akan menuai kebaikan juga,” tanya saya.
Dia menjawab, itu sudah pasti karena dalam kehidupan yang saat ini kita jalani tak terlepas dari hukum sebab akibat. Namun jawabannya saya bantah, kenapa?. Karena menurut saya hewan yang telah kita rawat dengan baik pun akan bersikap sebaliknya terhadap kita, karena tidak semua hal ada kendali diri kita. Demikian analogi yang saya sampaikan kepada sahabat saya sambil meminum kopi di dalam petakan kamar kos milik saya..
“Kenapa analoginya seperti itu,” tanya dia. Perdebatan pun mulai semakin sengit. “Nah, jawabannya cukup simpel sebetulnya,” jawab saya.
Pada hakekatnya manusia harus selalu menebar kebaikan kepada siapapun itu, namun jangan pernah berharap jika kebaikan dibalas dengan kebaikan. Sebab, kita tidak pernah bisa mengendalikan orang untuk bersikap baik kepada kita. Jadi, biarkan semesta saja yang mengatur yang penting kita sudah berbuat baik.
“Yang pasti kita harus yakin semesta itu tidak tidur ko,” iyah seperti itu lah ‘suhu’ begitulah panggilan gurau saya kepadanya.
Sedikit saya cerita saat pertama kali saya tahu tentang sahabat saya ini yang namanya cukup populer di kalangan aktifis, dan para jurnalis yang akrab disapa ‘haji’. Wajar saja namanya terkenal, karena dia menjadi seorang jurnalis hampir 20 tahun.
Dalam setiap artikel yang dia ketik/tulis tentu sangat enak dibaca. Pemikirannya begitu luas dalam merangkai kata menjadi satu kalimat yang membuat pembaca tidak bosan saat membaca artikel yang ia buat. Kiprahnya dalam dunia jurnalistik tentu sudah tidak ragukan lagi ribuan artikel mungkin sudah ia tulis. Karena kepiawaiannya dalam merangkai kata menjadi naskah berita yang enak dibaca oleh masyarakat sehingga ia diangkat sebagai redaktur divisi ekonomi di salah satu perusahaan media cetak/online ternama di Provinsi Banten.
Penulis: Jurnalis warga Lebak, Aji Permana/Galuh Malpiana
Tidak ada komentar